Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup dengan penurunan pada akhir perdagangan Rabu (13/11/2024). Setelah sempat menunjukkan tren positif di sesi perdagangan pertama, IHSG malah bergerak fluktuatif dan berakhir melemah di sesi kedua. Pada penutupan, IHSG turun 0,18% ke level 7.308,67, semakin mendekati batas psikologis 7.200.
Transaksi hari ini mencatat volume yang cukup besar dengan total nilai transaksi sekitar Rp 11 triliun. Sebanyak 38 miliar saham berpindah tangan melalui 1,3 juta transaksi. Dari sisi pergerakan saham, 293 emiten mengalami kenaikan, 298 mengalami penurunan, sementara 200 saham lainnya stagnan.
Sektor Konsumer dan Properti Jadi Penekan Utama
Dari sektor-sektor yang diperdagangkan, sektor konsumer primer dan properti menorehkan performa terburuk dengan masing-masing melemah 1,79% dan 1,56%. Saham-saham seperti PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) menjadi salah satu penekan utama dengan penurunan sebesar 8,1 indeks poin. Selain itu, PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) juga memberikan kontribusi negatif sebesar 7,4 dan 4,8 poin.
IHSG: Dari Hijau ke Merah dalam Sekejap
IHSG yang sempat menguat di sesi pertama, tiba-tiba berbalik arah di sesi kedua. Faktor sentimen negatif domestik dan antisipasi pasar terhadap data inflasi Amerika Serikat (AS) menjadi alasan utama pergerakan tersebut. Data penjualan ritel Indonesia yang dirilis Bank Indonesia (BI) memperlihatkan hasil yang kurang memuaskan, menambah tekanan pada indeks.
Laporan dari BI menunjukkan bahwa Indeks Penjualan Riil (IPR) pada September 2024 berada di angka 210,6, dengan pertumbuhan 4,8% secara tahunan (yoy), lebih rendah dibandingkan Agustus yang mencapai 5,8% yoy. Lebih mengkhawatirkan lagi, prakiraan untuk Oktober 2024 hanya tumbuh 1% yoy, menunjukkan perlambatan yang signifikan.
Sektor Informasi dan Komunikasi Terpukul
Penurunan penjualan ritel juga paling terlihat dalam kategori Peralatan Informasi dan Komunikasi. Sektor ini menunjukkan kontraksi yang tajam dengan penurunan 12,9% secara bulanan dan 29,4% secara tahunan. Pada Oktober, sektor ini diperkirakan akan tetap berada di zona kontraksi, menandakan bahwa konsumen menjadi semakin selektif dalam pengeluaran.
Penjualan Ritel Lesu, Apa Dampaknya?
Lemahnya penjualan ritel bisa menjadi indikator bahwa daya beli konsumen mulai melemah, mengingat sektor konsumsi menyumbang bagian terbesar dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Perlambatan ini berpotensi mempengaruhi perusahaan-perusahaan yang bergantung pada permintaan domestik, terutama di sektor barang konsumsi.
Pasar Menantikan Data Inflasi AS
Selain faktor domestik, perhatian investor juga terfokus pada data inflasi AS yang akan dirilis malam ini. Data yang akan diumumkan meliputi inflasi inti (Core Inflation) dan inflasi tahunan, dengan ekspektasi masing-masing sebesar 3,3% dan 2,4%. Jika angka inflasi AS melampaui proyeksi ini, ada kemungkinan Federal Reserve akan mempertahankan suku bunga di level saat ini lebih lama.
Implikasinya bagi Pasar Indonesia
Jika data inflasi AS mengejutkan pasar dengan angka yang lebih tinggi dari ekspektasi, hal ini dapat memberikan tekanan tambahan pada pasar saham global, termasuk IHSG. Pergerakan suku bunga AS selalu menjadi perhatian utama bagi investor karena dapat mempengaruhi arus modal global dan stabilitas nilai tukar.
Dengan kondisi pasar yang semakin tidak menentu, pelaku pasar di Indonesia perlu bersiap menghadapi fluktuasi yang lebih tajam di minggu-minggu mendatang, terutama jika sentimen global masih didominasi oleh perkembangan di Amerika Serikat.